PELAKSANAAN MBS
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Based School Management
Disusun oleh :
Hanna anngelina .P (292008520)
Novi Yunitasari (292008514)
Dewi Anggraini .P (292008539)
Fifi Ari Susanti (292008522)
Lusiana Puspita Dewi (292008504)
Lestari sukowati (292008526)
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama atau partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama atau partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Perkembangan MBS di Kanada
Model MBS yang diterapkan di Kanada di kenal dengan pendeligasian keuangan. Pendekatan yang digunakan adalah School Site Decision Making, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah, maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai denagn pada pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, kemudian diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri secara komprehensif yang hingga saat ini dilembagakan. Ciri pada model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Pada tahun 1986 kemudian memperluas pendekatan dengan adanya layanan konsultan pusat. Sekolah menerima alokasi secara “lupsum” yang kemudian ditambah biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan berdasarkan dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi kemudian dimasukkan dalam anggaran yang berbasis sekolah. Kemudian menentukan standar biaya untuk berbagai tipe layanan dan ada taguhan pembayaran kepada sekolah sesuai layanan yang dikehendaki. Sekolah dapat memilih jenis-jenis layanan yang disediakan oleh daerah. Pada tahun 1981 juga juga diadakan program pengefektifan guru. Program pengembangan profesional guru di danai dari anggaran berbasis sekolah yang dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50% guru-guru. Proses monitoring kemudian dikembangkan dalam rangka menjamin akuntabilitas. Siswa yang berada pada tahun ke 3, 6, 9, 12 di uji untuk semua bidang pada kurikulum. Kemudian menentukan standar tingkat prestasi yang harus dicapai dan kemuidan digunakan sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahunnya dilakukan survei pendapat kepada siswa, guru, kepala sekolah, staff daerah, dan orang tua siswa, keuidan dilakukan pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran –peran mereka. Pada tahun 1994, dimulailah restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan membuat undang-undang reformasi yang luas dalam bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah distrik sekolah secara drastis dari 140 menjadi 60, kemudian penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci dalam reformasi terletak pada peningkatan pera orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis dan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan kependidikan, yang juga termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang dicapai. Pengenalan “Charters Schools” dengan otonomi dan fleksibiitas pengelolaan juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
SMI sudah menjawab permasalahan pendidikan di Hongkong karena kerangka acuan SMI berisikan lima kebijakan pokok yaitu:
(a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan.
(b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
(c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
(d) partisipasi dalam pengambilan keputusan serta,
(5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Pada kerangka acuan akuntabilitas mencatat dua hal penting yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagaisuatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mepertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyrakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator speti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akdemis, profil tenaga kependidikan dengan memebrikan gambaran tantang pergantian staff, kualifikasi, dan kompetensinya.
Dengan lima kebijakan pokok dalam SMI dan pemaparannya tersebut sudah menjawab permasalahan yang ada di hongkong. Permasalahan di hongkong meliputi tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan,
menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Menurut Cheng(1996:44) menyatakan bahwa munculnya model SMI ini adalah usaha untuk meperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan dan sistem pendidikan, perbaikan inpt sumberdaya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan. Dengan adanya kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonimi yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanan pada tingkat sekolah yang bersangkutan. Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah terutama sponsor, ‘managers’ kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar kepada guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, manejemen, serta mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, memberikan fleksibiltas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekankan pada manejemen bersama (joint manajemen), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah.
Sedangkan di Indonesia sendiri ada beberapa permasalahan yang akhirnya membuat MBS diterapkan di Indonesia. Bermula dengan diberlakukannya otonomi daerah maka kewenangan Pemerntah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi itu berdampak pula pada bidang pendidikan. Ada sejumlah alasan yang mendasari perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara sentralistik menjadi desentralistik. Pertama, sistem penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara sentralistik menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi. Padahal, kebijakan pusat tersebut kerap terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan sekolah. Dampaknya adalah sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas yang pada akhirnya berdampak pada kurangnya motivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dan tata layanan pendidikan di sekolah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan terlalu berorientasi pada keluaran pendidikan itu sendiri. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan masih kurang.
Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia:
1. Sekolah lebih mnegetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya, sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatn sumber daya yang tesedia untuk memajukan sekolahnya.
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input dan output pendidikan yang akan dikembangkan da didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai denagn tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih tepat untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
4. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif apabial masyarakat setempat juga ikut mengontrol.
5. Keterliabatan semua warga sekoalh dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah, manciptakan transparasi dan demokrasi yang sehat.
6. Sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan sekolah masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasarab mutu pendidikan yang telah direncanakan.
7. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah.
8. Sekolah dapat secara tepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
Kendala dalam pelaksanaan MBS adalah:
1. Tidak berminat untuk terlibat.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka tidak ingi untuk ikut serta dalam kegiatan yang bagi mereka hanya akan menambah beban. Aggota dewan sekoalh ahrus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya adalah kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak efisien.
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adalakanya menimbulkan frustasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan denagn cara-cara yang otokratis. Pada anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3. Pikiran kelompok.
Para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif setelah beberapa saat bersama. Hal ini akan berdampak positif di satu sisi karena mereka akan saling mendukung satu sama lain, namun di sisi lain kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berbeda pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok”. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan pelatihan.
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan pengalaman model yang rumit dan partisipasif ini. Mereka kemungkinan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai hakikat MBS yang sebenarnya dan bagaimana cara kerjannya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan lain-lain.
5. Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak itu kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan koordinasi.
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakuo kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Karena tanpa hal itu kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjau dari tujuan sekolah.
Yang paling banyak peranannya adalah:
Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah termasuk orang tua siswa. Alasannya adalah kepala sekolah memiliki kekuasaan yang begitu besar dalam mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan dari berbbagai pihak terutama guru dan orang tua. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki kepala sekolah perlu dilaksanakan secara demokratis, seperti melibatkan guru dan orang tua siswa. Membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya. Menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah. Pengetahuan dan seluruh warga sekolah harus harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah.
Tujuan MBS yang diterapkan di Indonesia:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama/partisipatif.
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua masyarakat dan pemerintah
tentang sekolahnya.
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.
mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama/partisipatif.
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua masyarakat dan pemerintah
tentang sekolahnya.
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.
Kesimpulan.
1. MBS adalah model manajemen sekolah yang memberikan otonomi kepada sekolah dan
menekankan keputusan sekolah bersama/ partisipatif dari semua warga sekolah dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
2. MBS memberikan kemungkinan sekolah memiliki kewenangan yang besar mengelola
sekolahnya agar lebih berdaya kreatif sehingga dapat mengembangkan program-
program yang lebih cocok dengan kebutuhan dan potensi sekolah.
3. Tahap pelaksanaan MBS meliputi sosialisasi merumuskan visi, misi, tujuan dan
sasaran sekolah, identifikasi fungsi-fungsi pendidikan/sekolah, analisis tingkat
kesiapan fungsi, pemecahan masalah, menyiapkan/ menyusun program, evaluasi dan
penyempurnaan.
4. MBS akan efektif apabila pelaksanaanya didukung oleh sumber daya manusia ( SDM )
Yang memilki kemauan,integritasyang tinggi,baik dijajaran sekolah,Dinas Pendidikan
Kabupate/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi maupun pusat
5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS adalah merupakan sistem dan bagian integral
pengelolaan pendidikan. Dengan ME dapat diketahui tingkat kemajuan pendidikan di
sekolah, dimana dari hasil ME ini dipakai sebagai bahan masukan untuk penyempurnaa
dalam penyelenggaraan sekolah.
Saran
1. Perubahan paradigma manajemen pendidikan dari manajemen sentralistik menuju
Manajemen Berbasis sekolah perlu ditindak lanjuti dengan peraturan perundang
undangan.
2. MBS diharapkan tidak disalah gunakan dalam artian memberi peluang terhadap keinginan/ambisi baik individu maupun kelompok untuk menguasai/mengelola sekolah menurut kemauannya sendiri tanpa memperhatikan dan mengakomodasi aspirasi dan partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
1. MBS adalah model manajemen sekolah yang memberikan otonomi kepada sekolah dan
menekankan keputusan sekolah bersama/ partisipatif dari semua warga sekolah dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
2. MBS memberikan kemungkinan sekolah memiliki kewenangan yang besar mengelola
sekolahnya agar lebih berdaya kreatif sehingga dapat mengembangkan program-
program yang lebih cocok dengan kebutuhan dan potensi sekolah.
3. Tahap pelaksanaan MBS meliputi sosialisasi merumuskan visi, misi, tujuan dan
sasaran sekolah, identifikasi fungsi-fungsi pendidikan/sekolah, analisis tingkat
kesiapan fungsi, pemecahan masalah, menyiapkan/ menyusun program, evaluasi dan
penyempurnaan.
4. MBS akan efektif apabila pelaksanaanya didukung oleh sumber daya manusia ( SDM )
Yang memilki kemauan,integritasyang tinggi,baik dijajaran sekolah,Dinas Pendidikan
Kabupate/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi maupun pusat
5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS adalah merupakan sistem dan bagian integral
pengelolaan pendidikan. Dengan ME dapat diketahui tingkat kemajuan pendidikan di
sekolah, dimana dari hasil ME ini dipakai sebagai bahan masukan untuk penyempurnaa
dalam penyelenggaraan sekolah.
Saran
1. Perubahan paradigma manajemen pendidikan dari manajemen sentralistik menuju
Manajemen Berbasis sekolah perlu ditindak lanjuti dengan peraturan perundang
undangan.
2. MBS diharapkan tidak disalah gunakan dalam artian memberi peluang terhadap keinginan/ambisi baik individu maupun kelompok untuk menguasai/mengelola sekolah menurut kemauannya sendiri tanpa memperhatikan dan mengakomodasi aspirasi dan partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar