Jumat, 22 Oktober 2010





KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI MBS DI INDONESIA

Oleh:
Javid nama ayu laksmi                   (292008134)
Ardiani widya anggraeni               (292008508)
Puji yatmoko                                    (292008512)
Ardi bangkit purwoko                   (292008524)
Ratna fitriyani                                   (292008534)
Dita ariyanti                                       (292008543)

Abstraksi
                MBS dengan berbagai macam nama dan programnya telah dilaksanakan di berbagai negara. Model pengelolaan sekolah tersebut diimplementasikan sebagai usaha untuk mengatasi masalah masalah dalam pendidikan. Model pengelolaan sekolah ini mulai dilaksanakan di Indonesia seiring dengan model pemerintahan yang beralih dari model sentralisasi ke desentralisasi. MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu proses dan keluaran pendidikan di Indonesia dan bukan hanya sebagai program dari peralihan model pemerintahan dar sentralisasi ke desenralisasi . Pelaksanaan MBS di Indonesia juga mengalami berbagai hambatan dalam implementasinya.

Pendahuluan
1.        Latar Belakang
        Pengelolaan sekolah dengan model MBS telah diimplementasikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana keefektifan model pengelolaan MBS di Indonesia. Hal ini meliputi penerapan, hambatan, hasil dan peran MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
2.       Rumusan Masalah
a.       Bagaimana model MBS di negara lain dan keefektifan dalam implementasi MBS di negara tersebut?
b.      Bagaimana model pelaksanaan MBS di Indonesia?
c.       Apa saja prinsip yang diterapkan dalam MBS?
d.      Apa saja yang menjadi motif terpenting dalam pelaksanaan MBS?
e.      Apa saja yang melatarbelakangi pemilihan model MBS di Indonesia?
f.        Apakah para pelaksana MBS sudah dapat melaksanakan MBS dengan baik?
g.       Apakah MBS di Indonesia sudah dapat mengatasi masalah pendidikan di Indonesia?
3.       Tujuan
a.       Menjelaskan keefektifan MBS di negara lain, sebagai gambaran dan tolok ukur pelaksanaan MBS di Indonesia.
b.      Menjelaskan bagaimana model MBS yang dilaksanakan di Indonesia.
c.       Menjelaskan keadaan para pelaksana MBS di Indonesia.
d.      Menjelaskan motif terpenting yang haruus diterapkan dalam MBS di Indonesia.
e.      Menjelaskan latar belakang dilaksanakannya MBS di Indonesia.
f.        Menjelaskan keefektifan implementasi MBS dalam memecahkan masalah pendidikan di Indonesia.

Pembahasan
Model-model MBS di berbagai negara
Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60 kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu:
a)      Peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan;
b)      peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah;
c)      fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah;
d)      partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta
e)      sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Kerangka acuan akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.
Bagaimana dengan model MBS di Indonesia? Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang).
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni:
a)      Desentralisasi administratif: kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah lokal masih bertanggung jawab keatas.
b)      Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf.
Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia, yaitu:
-          motif ekonomi
-          motif professional
-          motif politik
-          motif efisiensi administrasi
-          motif finansial
-           motif prestasi siswa
-          Motif akuntabilitas
-          motif efektifitas sekolah
                Dari 8 motif tersebut, menurut kelompok kami motif yang terpenting adalah motif akuntabilitas. Semua kebebasan dan kewenangan yang diserahkan pada tiap sekolah akan sia-sia dan tidak akan merubah kualitas pendididkan di Indonesia jika pihak-pihak yang terkait tidak memiliki akuntabilitas/tanggung jawab. Sarana dan prasarana yang tersedia juga tidak akan termanfaatkan dengan maksimal.
                Sebelum berpikir tentang bagaimana caranya meningkatkan prestasi siswa, adalah pekerjaan rumah yang sangat besar bagi tiap-tiap sekolah untuk meningkatkan akuntabilitas pihak-pihak terkait seperti, kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Semua pihak terkait harus dilibatkan dalam berbagai praktik pengambilan keputusan agar terjadi efektifitas kerja sehingga timbul rasa tanggung jawab dan rasa memiliki diantara pihak-pihak yang terlibat. Jika hal tersebut sudah terbentuk dalam pola pikir pihak-pihak yang terlibat, maka akan muncul rasa peduli terhadap kemajuan sekolah, ethos kerja yang baik, dan profesionalisme.
Penerapan MBS di sekolah-sekolah belum berjalan dengan maksimal karena adanya beberapa kendala seperti:
-          Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
-          Rendahnya kualitas SDM di Indonesia
-          Masih adanya campur tangan pemerintah
-          Tenaga pendidik yang kurang memenuhi standar
-          Tidak adanya akuntabilitas pada pihak-pihak terkait
-          Ethos kerja pendidik yang kurang baik
-          Kurangnya kepedulian orang tua
Pihak yang paling banyak harus mengubah perannya dalam pengelolaan pendidikan dengan cara MBS in adalah kepala sekolah, guru, dan orang tua(masyarakat).
-          Kepala sekolah harus mengontrol cara kerja para tenaga pendidik, maksud miengontrol di sini bukanlah membatasi kreativitas guru malainkan lebih kepada pengawasan, apakah para guru sudah melakukan proses belajar yang PAKEM.
-          Guru harus mengubah metode pembelajaran dari teacher center menjadi student center. Guru yang dulunya sebagai penceramah harus mengubah perannya menjadi fasilitator.
-          Orang tua biasanya kurang peduli terhadap perkembangan pendidikan anaknya karena mereka berpikir tugas itu sudah diserahkan ke pihak sekolah. Dengan adanya MBS seharusnya para orang tua mengubah cara pikirnya dan lebih peduli terhadap perkembangan pendidikan anaknya. Orang tua juga melakukan koordinasi dengan guru sehingga MBS dapat berjalan dengan lancar dan maksimal.
Cara pemecahan agar kendala tersebut dapat diminimalisir kehadirannya dalam pelaksanaan MBS di sekolah:
1.        Pengelolaan kurikulum.
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Pada fungsi ini telah dikembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar melalui penjabaran kedalam indikator-indikator setiap mata pelajaran dan juga pengembangan kurikulum muatan lokal.
2.       Pengelolaan proses belajar mengajar
Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran, dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Pada fungsi ini, guru telah diberi kebebasan memilih metode-metode yang tepat dalam proses pembelajaran yang intinya adalah proses pembelajaran konstruktif.
3.       Pengelolaan ketenagaan.
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah, dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pengadaan guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap berdasar kepada kompetensi dasar bagi guru dan pegawai administrasi, pelatihan yang terus menerus.
4.      Pengelolaan peralatan dan perlengkapan.
Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pengadaan barang yang didahului oleh analisis skala prioritas, perbaikan/penggantian sarana dan prasarana belajar termasuk pengembangannya dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan.
5.       Pelayanan siswa.
Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dan dari tahun ketahun diadakan peningkatan intensitas dan ekstensitasnya
6.      Hubungan sekolah dan masyarakat.
Fungsi ini telah dilaksanakan melalui hubungan sekolah dan msyarakat untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan dan dari tahun ke tahun intensitas dan ekstensitasnya terus ditingkatkan.
7.       Pengelolaan iklim sekolah.
Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk menciptakan iklim sekolah yang kondusif-akademik yang merupakan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme, dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa.
Berikut ini merupakan karakteristik konsep MBS:
a)      Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah.
b)      Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
c)       Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
d)      Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
e)      Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
f)       Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
g)      Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
h)      Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
i)        Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.
Kesembilan karakteristik konsep MBS tersebut diringkas menjadi 4 nilai dasar pengelolaan sekolah oleh Prof. Dr. H. Djam’an Satori, MA, sebagaimana berikut:
Nilai-Nilai Dasar
Penjelasan
Otonomi pengelolaan sekolah
Perumusan kebijakan sekolah dan pengambilan keputusan
Partisipasi stakeholders sekolah
Sesuai batas-batas kewenangannya
Transparansi pengelolaan sekolah
Program dan anggaran
Akuntabilitas manajemen sekolah
Doing the right things and doing things right
Ø  Partisipasi
Yang dimaksud dengan partisipasi adalah suatu kegiatan yang memberikan kesempatan kepada warga sekolah dan masyarakat sekitar untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.Dengan tingkatan berbagi informasi, konsultasi, kolaborasi berbagai peran dalam pengambilan keputusan. Ilustrasi penerapannya antara lain setiap beberapa bulan sekali diadakan rapat bersama yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua atau wali murid jika merupakan suatu yayasan dapat juga ketua yayasan untuk meninjau perkembangan sekolah serta evaluasi pendidikan serta memberikan solusi-solusi dalam setiap masalah yang dimiliki oleh sekolah. Hal ini juga berfungsi untuk mengakrabkan tali persaudaraan.
Penerapan prinsip partisipasi dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas ditunjukan dengan keaktifan siswa di kelas dalam proses pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk bertanya, mengemukakan pendapat serta mengembangkan konsep-konsep yang ada dibenaknya dengan bantuan serta bimbingan dari guru. Siswa diarahkan untuk aktif bertanya, mencari materi sendiri, dan berpartisipasif dalam proses belajar. Jadi, guru tidak selalu menggunakan metode ceramah. Siswa aktif dan guru hanya menfasilitori
Ø  Transparansi
Yang dimaksud dengan transparansi adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan transparan untuk kebersamaan serta meningkatkan mutu sekolah. Ilustrasi yang dapat dilihat misalnya dalam penyajian program, kegiatan administratif, keuangan, serta nilai siswa dapat diakses secara langsung oleh orang tua secara online melalui web sekolah.
Penerapan prinsip transparansi ditunjukan dengan penilain hasil evaluasi siswa yang transparan, tidak ada pembedaan antara siswa satu dan siswa lainnya (penilaian objektif). Guru harus membuat silabus yang benar sebagai bukti yang nyata untuk proses pembelajaran
Ø  Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah, melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka (rapat tiap beberapa bulan). Ilustrasi penerapannya antara lain setelah pembelajaran berlangsung selama 1 tahun, kepala sekolah mengadakan rapat terbuka bersama warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah mengenai hasil lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian sekolah.
Penerapan akuntabilitas ditunjukan dengan metode pembelajaran berkelompok, siswa diarahkan untuk belajar secara berkelompok, di dalam kelompok tersebut siswa akan lebih aktif namun tidak sedikit pula siswa yang hanya bersifat pasif oleh karena itu diharapkan guru mampu untuk menjadi pembimbing yang baik. Guru harus mengajar sesuai jadwal dan kalender akademik. Menyelesaikan bahan ajar sesuai kurikulum. Sedang siswa bertanggungjawab atas semua dari hasil yang diperoleh, yaitu dalam bentuk prestasi dan nilai-nilai.
Implementasi MBS di Indonesia dilatarbelakangi karena mutu dan relevansi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dengan rendahnya prestasi akademik dan rendahnya kemandirian dan kreativitas siswa. Faktor-faktor yang mmpengaruhi kurangnya mutu dan relevansi tersebut diantaranya adalah proses belajar mengajar yang kurang mendukung dan kurangnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia.
Maka dari itu dilaksanakan MBS agar sekolah dapat meningkatkan mutu sekolah dengan mengadakan program-program yang dapat mengatasi masalah di sekolah itu karena sekolah itu sendiri yang paling mengerti kebutuhannya. Selain itu dengan pilar PAKEM pada proses belajar mengajar yang dilaksanakan dalam implementasi MBS diharapkan kreatifitas dan kemandirian siswa dapat meningkat dan dapat meningkatkan mutu lulusan.
MBS juga diimplementasikan agar relevansi pendidikan dapat meningkat, yaitu relevansi pendidikan dengan kebutuhan dimana sekolah itu berada dan tuntutan jaman. Hal itu dapat diatasi dengan pilar peran serta masyarakat. Dengan terlibatnya masyarakat dalam menentukan program sekolah dan melaksanakan program tersebut, tentunya program yang dibuat akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan lebih mudah untuk dilaksanakan.
Bila prinsip transparansi dan akuntabilitas pada MBS sudah terlaksana dan sekolah sudah memperoleh kepercayaan dari masyarakat, hal-hal pendanaan dalam pengembangan fasilitas belajar dan pengembangan sekolah sudah tidak lagi menjadi masalah, tanpa bergantung lagi dari pendanaan pemerintah.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan adalah hal-hal yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Sekolah yang menerapkan MBS harus memiliki dan mengelola standar pelayanan minimal pendidikan yang harus disesuaikan dengan keadaan sekolah dan siswa. Ada 8 standar pelayanan minimal yang harus ada dalam proses kegiatan belajar mengajar yaitu:
  1. Standar isi, misalnya adanya KTSP, silabus, RPP, dan proses pembelajaran, penilaian pendidikan, buku, peralatan, dan media pembelajaran, pada semua mata pelajaran yang bertujuan untuk pencapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan rencana.
  2. Standar proses, proses pembelajaran menggunakan PAKEM.
  3. Standar tenaga pendidik, guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
  4. Standar pengelolaan, antara lain pengelolaan keuangan, buku-buku pelajaran dan buku perpustakaan, administrasi guru, Kepala Sekolah, dan administrasi sekolah juga harus dikelola dengan baik.
  5. Standar pembiayaan, melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta Dana Alokasi Khusus (DAK).
  6. Sarana prasarana, melalui pengadaan buku teks pada program BOS dan pengadaan peralatan dan sarana prasarana melalui program DAK (Dana Alokasi Khusus).
  7. Standar peningkatan mutu, antara lain sumber daya manusia yang mencakup guru atau pendidik dan tenaga kependidikan (Kepala Sekolah, pengawas sekolah), unsur sarana prasarana, seperti infrastruktur, peralatan, media, dan buku.
  8. Standar administrasi, SPM pendidikan dasar dikembangkan sejalan dan berdasarkan pada Standar Nasional. Misalnya adanya buku laporan keuangan, daftar nilai siswa, buku induk, surat yang keluar dan masuk dari dan ke sekolah.
MBS sangat berkaitan dengan SPM, karena SPM digunakan sebagai alat ukur parameter yang berlaku secara nasional. SPM bidang pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan MBS, hal ini ditunjukkan dengan adanya peran masing–masing sistem yang memiliki andil yang cukup besar dalam menunjang segala aktivitas di seluruh lingkungan sekolah. SPM merupakan komponen pendidikan yang digunakan untuk menentukan kurikulum, ketenagaan, organisasi, manajemen sekolah dan peran serta masyarakat, sehingga SPM diharapkan menjadi rambu-rambu minimal yang dijadikan pegangan bagi penyelenggaraan pendidikan untuk menjaga kualitas pendidikannya. Di sini SPM mencerminkan spesifikasi teknis layanan pendidikan dan merupakan bagian dari standar nasional.
Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil, dan memanfaatkan pelayanan pendidikan di sekolah. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau, dan dapat dipertanggungjawabankan serta mempunyai batas waktu pencapaian.
Salah satu contoh SPM di bidang pendidikan yaitu dalam pengelolaaan sarana dan prasarana. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang tempat bermain/berolahraga, proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi, informasi, dan komunikasi.

Penutup
1.        Kesimpulan
Berbagai model MBS di berbagai negara yang menerapkannya sebelum Indonesia dapat menjadi bahan telaah untuk menjadi model MBS di Indonesia tapi dalam mengimplementasikannya harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan di Indonesia, jangan hanya sebagai pengiring pergeseran program pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
2.       Saran
Sebelum mengimplementasikan MBS, pemerintah harus mempertimbangkan model lain dan kesesuaiannya untuk penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia. Pemerintah juga harus mengkaji kelebihan dan kelemahan MBS untuk dapat memaksimalkan kelebihannya dan meminimalisir kelemahannya.
Sebelum mengimplementasikan MBS, pihak pihak yang terlibat di dalam implementasikan tersebut harus dipersiapkan dengan baik sehingga dapat dilaksanakan dengan efektif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar